Nyepeda bagi masyarakat Kudus sudah menjadi olah raga yang sejajar dengan bulu tangkis. Sepeda atau biasa disebut kereta angin awalnya hanya menjadi kendaraan transportasi masyarakat Kudus ketika menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Seiring dengan perkembangan, saat ini sepeda menjadi salah satu aktivitas olah raga yang bergengsi di Kota Kudus. Pesatnya perkembangan komunitas sepeda di Kudus setara dengan komunitas sepeda di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung.
Kota Kudus, menyediakan alternatif jalur sepeda yang beragam sesuai dengan kemampuan kayuh sepeda (gowes) dan tentunya jenis sepeda yang kita miliki. Banyak yang tidak menyangkan bahwa di Kota Industri Rokok (Kota Kretek) seperti Kudus masih terdapat lahan untuk bersepeda ria.
Sebagai daerah pesisir utar (Pantura), Kudus memiliki gunung yang tidak aktif dan menjadi tempat peristirahatan terakhir Sunan Muria sehingga disebut dengan Gunung Muria. Di gunung inilah terdapat banyak tempat yang dapat memanjakan para goweser. Mulai dari jalur cross country hingga down hill tersebar di Gunung Muria.
Sebagai titik nol kegiatan bersepeda, masyarakat Kudus biasanya berangkat dari Alun-Alun Kota setiap Minggu pagi. Dari sini, kira-kira 18 km menanjak ke Utara kita akan tiba di Gunung Muria melalui jalan utama. Perhentian sebelum menuju puncak biasanya berada di kecamatan Dawe. Di Kecamatan Dawe, dengan selembar Rp 10.000,- sop daging maupun swike kodok dapat disantap sebagai bahan bakar goweser sebelum menaklukan Gunung Muria. Variasi makanan pengganjalpun tersedia beragam di Kecamatan Dawe. Lodeh dan semur bisa jadi merupakan alternatif lain. Disini para goweser dapat menggunakan kendaraan pick up untuk membawa sepedanya hingga puncak. Biasanya hal ini dilakukan oleh Downhiller yang bobot sepedanya memang lebih berat dari sepeda umumnya. Biaya menggunakan pickup sekitar Rp. 30.000,- berisi sekitar 6-7 sepeda.
Saya sendiri lebih memilih untuk ngangkot dengan pickup hingga ke puncak mengingat bahwa saya hanya muda di umur tapi tidak di dengkul. Sepanjang perjalanan ke puncak, goweser akan dimanjakan oleh pemandangan yang menyegarkan mata. Sesekali ejekan dan candaan dari rekan goweser yang nekat menggowes hingga puncak mengiringi kendaraan yang kami tumpangi. Tidak sedikit diantaranya yang jauh lebih berumur dari kami para penumpang.
Kira-kira 15 menit menggunakan kendaraan pickup, kami tiba di titik keberangkatan menuruni gunung muria. Kendaraan yang berhenti di daerah Ternadi mengharuskan kami untuk sedikit mengayuh sepeda dan menjajal kekuatan dengkul. Jalur sepeda yang berada di tengah desa menyebabkan lalu lalang kendaraan bermotor bisa dikatakan minim sehingga udara yang ada terasa masih segar. Ditambah kondisi selepas hujan semalam, rasanya jalur ini mubazir untuk tidak dilewati.
Setibanya di jalur gowes utama, sadel sepeda terpaksa kami turunkan pada posisi paling bawah untuk mempermudah pengendalian sepeda. Kondisi jalan tanah basah karena hujan terhampar di depan menantang siapapun yang siap untuk melintasinya. Sepanjang jalan, tidak ada rumah penduduk yang kami jumpai, kebun dan hutan kecil menjadi santapan mata dan vitamin yang tidak dijual di apotek.
Lintasan basah terkadang becek diselingi kumbangan air sering memberikan kesenangan tersendiri ketika cipratannya membasahai pakaian. Beberapa dari kami harus merelakan mencium tanah karena lintasan yang licin. Tapi toh hal ini tidak mengurangi keinginan kami untuk menggowes sepeda lebih kencang sembari menikmati pemandangan. Sesekali penduduk justru menyoraki kami yang melintas.
Ditengah perjalanan, kami melintasi sebuah sungai besar yang hanya dapat dilalui apabila musim penghujan berakhir. Dan untuk melaluinya, sepedapun harus kami gendong supaya tidak terbawa arus sungai yang deras. Pada saat musim penghujan berakhir, biasanya kami beristirahat di sungai ini di atas batu-batu sungai yang besar ditemani anak-anak desa yang sedang bermain di sekitar sungai.
Perjalanan yang memakan waktu 1,5 – 2 jam rasanya sudah cukup memuaskan kami para penggowes amatir. Biasanya kami akhiri dengan menyeruput kopi maupun teh di warung-warung kecil di jalan pulang diselingi dengan camilan gethuk goreng isi gula jawa.
Saran:
1. Sebaiknya berangkat dari alun-alun sekitar jam 05.00 WIB supaya tidak terlalu panas ketika berada di atas.
2. Jalur ini dapat dilalui pada malam hari dengan menggunakan bantuan lampu sepeda (saya sudah beberapa kali melakukan)
3. Ajak kawan atau kenalan yang sudah tahu medan supaya tidak kesasar.
4. Bawa alat-alat sepeda seperti kunci-kunci, ban dalam, pompa mini.
5. Gunakan helm dan protector secukupnya.
6. Bawa air minum karena sepanjang perjalanan tidak ada warung.
Richo
1 comment:
wawww.. itu yang dorong naik ke air-air apa engga licin ya? keren euy..
Post a Comment