Sunday, April 10, 2011

Trenggalek: Pantai Prigi & Karang Gongso

Perjalanan dimulai dari Pare-Kediri yang memakan waktu kurang lebih 1,5 jam ke Tulung Agung.
Di TA saya mencangking teman saya sambil makan siang di Sup Ayam Pak Djono. Sup ayam ini terletak di jalan besar arah ke Ponorogo.

Ini SUP aka SOP loh, bukan soto ayam. :D Rasanya memang seperti soto tapi jauh lebih ringan. Di Pare sendiri terdapat jenis sup ayam seperti ini, lebih bening, tak terlalu kuning dan rasanya emang kaldu ayam plus bawang putih.
sop ayam

Selesai makan siang kami meluncur ke Trenggalek, melewati gunung (amboi melewati jalan meliuk2, daku paling sebal). Gunung apa ya namanya lupa, gunung marmer pokoknya. Jadi tak heran seharusnya banyak toko yang menjual keramik2 dari marmer, tapi kami tak berkunjung ke sana.

Pantai Prigi
Kami mampir ke pantai Prigi dahulu sebelum ke pantai Karang Gongso. Dua tempat ini terpisah tak terlalu jauh dan kalau dari arah Tulung Agung, Prigi lebih dekat. Kami sampai sekitar pukul 2 siang. Cuaca mendung jadi mengurangi teriknya mentari namun langit jadi agak pucat.
Pantai Prigi memiliki pasir coklat dan kalau sore biasanya terdapat nelayan2 menarik ikan. Hari itu sangat sepi mungkin karena hari biasa, loket parkir pun tak ada yang menjaga. Cukup bersih dan nyaman. Terdapat banyak warung2 penjual bakso dan es degan. Satu degan seharga 6000 tanpa sirup, 7000 dengan sirup.


pasir boleh coklat tetap indah karena bersih euy

Barisan bukit yang terlihat di belakang

Pantai Karang Gongso
Kami tak berlama-lama di Prigi karena kami tahu Karang Gongso bakal lebih indaaaaaaah....
Lagi, loket retribusi kosong melompong. Karang Gongso memliki area parkir yang lebih rapi. Berpaving. tapi kebanyakan toko-toko suvenir dan makan tutup. Satu2nya tempat mandi milik Mushola seharga 2000, entah mandi atau buang air kecil/besar.
Pasir pantainya putih. Semakin ke barat pasirnya makin kecil dan padat, lembut dan sangat cocok untuk membangun istana pasir! ^^
area parkir pantai Karang Gongso


Sisi timur dipenuhi pasir berbutih besar

Makin ke barat, pasir makin halus dan lembut! Tetap putih!



Foto2 dapat dilihat di sini.

Sunday, April 03, 2011

Gowes di Kudus


Nyepeda bagi masyarakat Kudus sudah menjadi olah raga yang sejajar dengan bulu tangkis. Sepeda atau biasa disebut kereta angin awalnya hanya menjadi kendaraan transportasi masyarakat Kudus ketika menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Seiring dengan perkembangan, saat ini sepeda menjadi salah satu aktivitas olah raga yang bergengsi di Kota Kudus. Pesatnya perkembangan komunitas sepeda di Kudus setara dengan komunitas sepeda di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung.
   
Personil Gowes
Kota Kudus, menyediakan alternatif jalur sepeda yang beragam sesuai dengan kemampuan kayuh sepeda (gowes) dan tentunya jenis sepeda yang kita miliki. Banyak yang tidak menyangkan bahwa di Kota Industri Rokok (Kota Kretek) seperti Kudus masih terdapat lahan untuk bersepeda ria.
Sebagai daerah pesisir utar (Pantura), Kudus memiliki gunung yang tidak aktif dan menjadi tempat peristirahatan terakhir Sunan Muria sehingga disebut dengan Gunung Muria. Di gunung inilah terdapat banyak tempat yang dapat memanjakan para goweser. Mulai dari jalur cross country hingga down hill tersebar di Gunung Muria.
Sebagai titik nol kegiatan bersepeda, masyarakat Kudus biasanya berangkat dari Alun-Alun Kota setiap Minggu pagi. Dari sini, kira-kira 18 km menanjak ke Utara kita akan tiba di Gunung Muria melalui jalan utama. Perhentian sebelum menuju puncak biasanya berada di kecamatan Dawe. Di Kecamatan Dawe, dengan selembar Rp 10.000,- sop daging maupun swike kodok dapat disantap sebagai bahan bakar goweser sebelum menaklukan Gunung Muria. Variasi makanan pengganjalpun tersedia beragam di Kecamatan Dawe. Lodeh dan semur bisa jadi merupakan alternatif lain. Disini para goweser dapat menggunakan kendaraan pick up untuk membawa sepedanya hingga puncak. Biasanya hal ini dilakukan oleh Downhiller yang bobot sepedanya memang lebih berat dari sepeda umumnya. Biaya menggunakan pickup sekitar Rp. 30.000,- berisi sekitar 6-7 sepeda.
 
Kendaraan Angkut ke Puncak
Saya sendiri lebih memilih untuk ngangkot dengan pickup hingga ke puncak mengingat bahwa saya hanya muda di umur tapi tidak di dengkul. Sepanjang perjalanan ke puncak, goweser akan dimanjakan oleh pemandangan yang menyegarkan mata. Sesekali ejekan dan candaan dari rekan goweser yang nekat menggowes hingga puncak mengiringi kendaraan yang kami tumpangi. Tidak sedikit diantaranya yang jauh lebih berumur dari kami para penumpang.
Kira-kira 15 menit menggunakan kendaraan pickup, kami tiba di titik keberangkatan menuruni gunung muria. Kendaraan yang berhenti di daerah Ternadi mengharuskan kami untuk sedikit mengayuh sepeda dan menjajal kekuatan dengkul. Jalur sepeda yang berada di tengah desa menyebabkan lalu lalang kendaraan bermotor bisa dikatakan minim sehingga udara yang ada terasa masih segar. Ditambah kondisi selepas hujan semalam, rasanya jalur ini mubazir untuk tidak dilewati.
Setibanya di jalur gowes utama, sadel sepeda terpaksa kami turunkan pada posisi paling bawah untuk mempermudah pengendalian sepeda. Kondisi jalan tanah basah karena hujan terhampar di depan menantang siapapun yang siap untuk melintasinya. Sepanjang jalan, tidak ada rumah penduduk yang kami jumpai, kebun dan hutan kecil menjadi santapan mata dan vitamin yang tidak dijual di apotek.

Lintasan basah terkadang becek diselingi kumbangan air sering memberikan kesenangan tersendiri ketika cipratannya membasahai pakaian. Beberapa dari kami harus merelakan mencium tanah karena lintasan yang licin. Tapi toh hal ini tidak mengurangi keinginan kami untuk menggowes sepeda lebih kencang sembari menikmati pemandangan. Sesekali penduduk justru menyoraki kami yang melintas. 
 
Ditengah perjalanan, kami melintasi sebuah sungai besar yang hanya dapat dilalui apabila musim penghujan berakhir. Dan untuk melaluinya, sepedapun harus kami gendong supaya tidak terbawa arus sungai yang deras. Pada saat musim penghujan berakhir, biasanya kami beristirahat di sungai ini di atas batu-batu sungai yang besar ditemani anak-anak desa yang sedang bermain di sekitar sungai.
Perjalanan yang memakan waktu 1,5 – 2 jam rasanya sudah cukup memuaskan kami para penggowes amatir. Biasanya kami akhiri dengan menyeruput kopi maupun teh di warung-warung kecil di jalan pulang diselingi dengan camilan gethuk goreng isi gula jawa.
Saran:
1. Sebaiknya berangkat dari alun-alun sekitar jam 05.00 WIB supaya tidak terlalu panas ketika berada di atas.
2. Jalur ini dapat dilalui pada malam hari dengan menggunakan bantuan lampu sepeda (saya sudah beberapa kali melakukan)
3. Ajak kawan atau kenalan yang sudah tahu medan supaya tidak kesasar.
4. Bawa alat-alat sepeda seperti kunci-kunci, ban dalam, pompa mini.
5. Gunakan helm dan protector secukupnya.
6. Bawa air minum karena sepanjang perjalanan tidak ada warung.

Salam gowes,

Richo

Saturday, April 02, 2011

Mari menikmati alam negara Singa

Siapa bilang di Singapura melulu gedung-gedung pencakar langit dan shopping mall. Mari kita menikmati alam di negara kecil ini.

Sungei Buloh

Taman nasional ini berada di barat laut Singapura. MRT terdekat adalah Kranji, setelah itu pengunjung harus mengambil bus, entah paid shuttle bus (yang mahal menurut kami) atau bus biasa. Bus biasa di akhir minggu tidak akan masuk ke lokasi, jadi diperlukan jalan kaki cukup panjang (apalagi di hari terik, weh).

Sekilas:
- Harga masuk 1 SGD (Rp 6500-7000).
- Fasilitas di gedung masuk utama berupa kantin, vending machine, ruang audio visual, ruang pameran (mini   musuem), ruang baca, toilet.
- Terdapat mesin air minum dingin (cooling water) gratis di beranda ruang pameran.
- Sepatu kets dianjurkan, terutama musim hujan. Tapi sejelek2nya jalan berlumpur di sana, masih berupa jalan berkerikil dan rata adanya (ck, kurang menantang emang).
- Selama berjalan, tak jarang kami menemui monitoring lizard segede gaban. Sekilas mirip komodo mini tapi bukan lah. Mereka sedang asik berjemur sinar mentari.

Selengkapnya bisa dibaca semua di websitenya .
Tips: bagi yang suka hunting foto, siapkan kamera tele nya :)

MacRithie Water Reservoar

Bendungan air terbesar di Singapura ini dikelilingi hutan dengan area sangat luas. Paru-paru negara ini menjadi favorit warga Singapura untuk berhiking atau berjogging ria. Tak lupa, bendungannya dimanfaatkan untuk olahraga air seperti kayaking.
Sekilas:
- biaya masuk : free
- Mari bermain kayaking! Biaya sewa kayaking sekitar 15 sgd /kayak/jam. Cukup mahal sih, hiks. Dan area utk bermain kayak sangat terbatas jadi dalam hitungan 10-15 menit bosan sudah. :p Ini dikarenakan standar kemanan yang benar-benar diterapkan. Bahkan di laut lepas dibutuhkan lisensi berkayak.
Jadi kayaking di sini lebih ke pada olah fisik, bukan sight seeing. Disarankan mengambil 2 in 1 kayak, supaya bisa saling mengobrol.
- Siapkan waktu dan fisik jika mau berhiking ria. Pahami rute betul2 sehingga tidak berputar-putar di dalam (saking luasnya).

Selengkapnya bisa dibaca di websitenya dan di wiki.

 
 

Pulau Ubin

Sekilas:
- Biaya ferry 2,5 Sgd/jalan.
- Mari bersepeda dan makan seafood!
Sewa sepeda sekitar 10 sgd/jam. Bole ditawar2 sih, harga dibuka sekitar 18an.
Kami tak jadi menjajal seafood yang katanya lebih murah daripada di pulau Singapura, terlalu capek dan panas membuat nafsu makan kami berkurang.
- Kami menuju Chek Jawa. Setelah memparkir sepeda kami di tempat yang disediakan (tempat parkir dengan gembok roda), kami jalan menikmati pinggiran laut dan hutan mangrove. 

Selengkapnya baca di sini.


Taman2 kota di banyak area se-Singapura cukup menyenangkan, sebut saja Botanical Garden dan Toa Payoh Town Park. Saya tidak menganjurkan Chinese Garden yang "gundul" dan panas. Nothing to be seen actually. Just a hot n humid weather n non that artistic chinese pagodas.