Namun istilah jangan menilai buku dari sampulnya memang benar. Kesempatan kali ini penulis menikmati Batam bersama seorang teman yang telah tinggal dan bekerja di Batam selama 5 tahun untuk membantu menjelajahi Batam.
Batam adalah suatu tempat multikultur. Kita dapat menjumpai aneka etnik dari Sabang sampai Merauke. Hampir tidak dirasakan superioritas etnik tertentu karena notabene semua adalah pendatang. Tanpa kaum kapitalis yang mendirikan pabrik-pabrik di Batam tak ada penduduk lokal yang memulai "peradaban".
Makanan dari Jawa sedikit banyak dapat ditemui pula. Tarif makan di warung pinggir jalan untuk Gado-gado dan Lontong Sayur mencapai Rp. 6000,-. Nasi Padang tanpa daging (telur) mencapai Rp. 10.000,- . Lebih mahal sedikit dibanding Jakarta :)
Penulis tinggal di daerah Jodoh, dengan penyeberangan ferry ke Singapura terdekat adalah Harbor Bay dan pusat keramaian terdekat adalah Nagoya. Sekilas peta dapat diintip di sini.
Tiga mall besar yang menjadi landmark kota, yang masih bertahan, Megamall di Batam Center, Nagoya Hill di Nagoya, Batam Square Center (terkenal dengan gedung bioskop baru bagi penggemar film-film Hollywood dengan HTM Rp. 10.000,-!!! kecuali Jumat-Minggu).
Transportasi umum jauh lebih memadai dibanding Bali yang turismenya jauh lebih berkembang. Pangkalan ojek dapat dijumpai di mana-mana, dan menjadi alternatif yang paling disukai untuk efisiensi dan efektivitas. Beberapa line angkot (penduduk lokal menyebutnya "carry") juga terlihat berseliweran. Tak kalah dengan kendaraan taksi. Untuk taksi, pakai sistem borongan, alias tidak memakai argo. Bahkan tak jarang dijumpai taksi-taksi gelap tanpa plang "taksi" di atas kendaraan. Di jalanan carry dan taksi biang keributan, bukan karena mereka tidak sabaran untuk melaju, tapi sibuk menggaet penumpang dengan klakson mereka.
Tidak banyak daerah clubbing yang terendus (karena penulis tidak hobi). Hanya sempat melewati kampung bule (istilah mereka) di belakang hotel yang penulis lupa namanya... masih di kawasan Jodoh. Nampak luar tak terlihat hingar bingar, tapi teman penulis pernah melewati salah satu klub yang terbuka pintunya, yang ternyata interior dan musiknya mantab dan berkelas.
Dari segi keamanan, dapat dirasakan lebih aman dari kota-kota besar di jawa (timur)., namun kewaspadaan tetap harus dijaga (penulis terlalu terbiasa dengan hidup di Singapure, jd harap maklum).Selain dari cerita teman, saya melihat sendiri di kaki lima yang menaruh kotak uang dengan enteng di atas meja tanpa perhatian ekstra (kayak uang 100rb dan 50rb ngga ada harganya).
Ikon pariwisata lainnya adalah Jembatan Barelang. Hanya saja setahun lalu ketika penulis diajak ke sana tidak sempat mengambil foto.
Jembatan Barelang adalah nama jembatan “megah” yang menghubungkan tiga pulau yaitu Batam-Rempang-Galang. Masyarakat setempat menyebutnya “Jembatan Barelang”, namun ada juga yang menyebutny a “Jembatan Habibie”, karena beliau yang memprakarsai pembangunan jembatan itu untuk menfasilitasi ketiga pulau tersebut yang dirancang untuk dikembangkan menjadi wilayah industri di Kepulauan Riau. Ketiga pulau itu sekarang termasuk Provinsi Kepulauan Riau, Kepri, sebuah provinsi yang baru saja diresmikan keberadaannya oleh menteri dalam negeri.
sumber: wikipedia.org
Sekian pengantar tentang Batam. ;)
No comments:
Post a Comment